Post views: counter

Sabtu, Juni 25, 2016

Wartawan, Parcel, THR dan Muka Tebal

poto ilustrasi dari google.com
Ntah kenapa setiap menjelang idul fitri, istilah THR,Parcel menjadi akrab ditelinga, woii, jangan ko salah, THR yang kusebut neh artinyo Tunjangan Hari Royo, bukan Tempat Hasil Perkara, kalo orang Langkat bilang hasil ogap 86 (dame ditempat), lho, ya maklum ajalah, dinegara kita bernama Indonesia neh, hari raya berarti “Bebas” merdeka (bagi yang puasa aja lho)
Hari raya juga berarti pengeluaran isi dompet bepuluh kali lipat banyaknya. Untuk mudik kalo punya kampung, kue kue lebaran so pasti wajib, baju, sepatu, perhiasan, perabot rumah, uang ampao bagi sanak family (ntah kenapa pula mental materialistis ini sekarang membudaya dikalangan ummat muslim neh), maaf (bukan SARA loh, karena penulis juga seorang Muslim) atau “gaji ke 13 – 14” taapi gimana kalo semua itu tak ada ? hayo...
Gambaran diatas juga  juga melanda dunia media (khususnya praktisi pena) yang bertugas diseputaran Polres Langkat, Pemkab dan Mitra-mitranya. Kemarin lalu saya ditelpon oleh seorang wartawan yang biasa meliput di mapolres Langkat. ”Ga jelas kawan ini, pelese (pilih kasih) kali nampaknya dalam bagi-bagi parcel, aku ga dapat, kau dapat ga piliang” Ujarnya diujung telpon sembari mengeluh.

Singkatnya kawan neh mengeluh karena pembagian parcel yang dikomandaoi oleh "katanya” ketua unit liputan di polres itu malah tidak merata ke seluruh awak media yang biasa mangkal disono no, mendongkolkah kawan ini ? so pasti, berani melawankah ? tidak, karena takut, kalo melawan atau protes, kawan ini takot tidak dipanggil  lagi untuk meliput semua berita, baik paparan atau berita apapun yang berbau hasil tangkapan mapolres Langkat.,kalo itu terjadi, jelaslah income upah menulis berita yang Cuma “Cpek” raib ditelan hantu,hmm,,kaco.

*Muka Tebal*

Ada cerita unik soal THR dan wartawan,khususnya di kabupaten Langkat, pertama musti kudu pandai bersilat, bukan silat cam disenetron, tapi ber”Silat” lidah, kedua, pandai ambil muka (bahasa kami di langkat “angkat telor”lah), ketiga adalah bermuka tembok (kalo ini wajib) kalo mau dapat THR dari pejabat, baik pejabat di kepolisian ataupun pemkab Langkat, nah kalo yang ketiga ini udah dikumpulin menjadi watak, hiduppun gampanglah, uang tak pernah kering dikantong, lah ngangkat terus tanpa berani mengkritik.ho,,ho,,ho,,

Cuma parahnya kalo ada seorang wartawan yang udah kek gini neh mentalnya, ancorr kita .. alamat kena jual tuh kepala, khususnya kepala wartawan yang hobi mengkritik pejabat tu tu, istilah dilangkat (membante). Kenapa ? karena wartawan yang memilik jiwa penjilat itu pasti akan bicara sama pejabat itu, “udah kawan yang hobi membante bapak tuh, serahkan sama aku, amannya itu, berapa koceknya” hahahah mati kita, rusak..rusak dunia pers neh.

Namun,,sungguhpun begitu, sesama wartawan yang juga masih hobi dengan "Fulus" saya tidak berani menyalahkan kawan yang udah “rosak” tuh, maklumlah UUP Nomor 40/1999 dah bolak balik aku baca isi demi isi, tak ada pula yang menuliskan bahwa ada pasal dalam UUP itu yang mengatur tentang kesejahteraan wartawan, semuanya mayoritas berisi tentang kode etik dan bla..bla, jadi tak salah juga sebagian wartawan didaerah itu memanfaatkan “pers”nya untuk merangkap menjadi pemburu rupiah. Udahlah capek kita kalo membahas UUP 40/1999, bantenyalah situ.

Kembali ke Laptop,mengutip seruan dewan pers yang ditulis seorang wartawan senior asal jakarta dalam blognya bernama “Jojo,s Journey” beberapa waktu lalu yang menuliskan untuk menghindari adanya kemungkinan jurnalis menerima bingkisan dari pihak lain saat lebaran, beberapa organisasi  organisasi pers dan para pemangku kepentingan kebebasan pers mengeluarkan seruan agar semua instansi pemerintah dan perusahaan swasta tidak memberikan uang suap/sogokan kepada jurnalis yang meliput di lembaga Anda, dengan kedok Tunjangan Hari Raya atau Bingkisan Lebaran.

“Adalah kewajiban perusahaan pers atau media tempat para jurnalis bekerja,
untuk memberikan Tunjangan Hari Raya, sesuai dengan ketentuan pemerintah dan
peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi seruan bersama yang ditandatangani perwakilan pengurus AJI, ATVSI, Dewan Pers, IJTI, dan SPS.
Ditambahkan, pemberian sogokan/uang suap berbentuk Tunjangan Hari Raya atau Bingkisan Lebaran akan mempengaruhi daya kritis jurnalis dalam melayani kepentingan publik memperoleh informasi yang akurat dan jujur. Selain itu, hubungan setara antara jurnalis dan narasumber pun akan jadi tidak sehat oleh praktek-praktek pemberian bingkisan macam itu.Nah loh, yang udah terima parcel dari Mapolres Langkat atau pemkab, masih berani ga mengkritik ? hahahaha,, ancooorrr mina (seperti lirik sebuah lagu dangdhut 90an)
*Pengusaha Media*
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen Abdul Manan menegaskan, jangan sampai masa-masa menjelang Lebaran dimanfaatkan untuk menyogok jurnalis dengan memberikan THR. “Sebab, pasal 6 Kode Etik Jurnalistik jelas menyatakan, Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap,” kata  ketua Manan.
Federasi juga menggarisbawahi bahwa THR adalah hak pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari  raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Ini diatur dalam Pasal 1 Huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
“Berdasarkan Permenaker ini, pengusaha yang melanggar kewajibannya membayar hak THR bisa dikategorika melakukan tindak pidana. Pasal peraturan menteri itu  mewajibkan pengusaha memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai  masa kerja tiga bulan secara terus menerus atau lebih. Pembayarannya juga harus dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya  keagamaan diperingati,” tambah Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia Winuranto Adhi.

Baik Federasi maupun AJI menyerukan kepada para pemilik media untuk  memberikan THR tidak hanya kepada jurnalis yang berstatus karyawan  tetap, tapi juga kepada jurnalis yang punya hubungan kontrak seperti  kontributor, koresponden, dan semacamnya. “Selain sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum positif kita, ini juga sebagai bagian dari penghargaan terhadap pekerja media,” kata Ketua AJI Jakarta Wahyu Dhyatmika. (ditulis oleh M.Piliang eks jurnalis Top Metro Media Network, sekarang mencoba menjadi penulis blog di Blogger.com google).
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Advertising

Delivered by FeedBurner