poto ilustrasi dari google.com |
Ntah
kenapa setiap menjelang idul fitri, istilah THR,Parcel menjadi akrab ditelinga,
woii, jangan ko salah, THR yang kusebut neh artinyo Tunjangan Hari Royo, bukan
Tempat Hasil Perkara, kalo orang Langkat bilang hasil ogap 86 (dame ditempat),
lho, ya maklum ajalah, dinegara kita bernama Indonesia neh, hari raya berarti “Bebas”
merdeka (bagi yang puasa aja lho)
Hari
raya juga berarti pengeluaran isi dompet bepuluh kali lipat banyaknya. Untuk mudik
kalo punya kampung, kue kue lebaran so pasti wajib, baju, sepatu, perhiasan,
perabot rumah, uang ampao bagi sanak family (ntah kenapa pula mental
materialistis ini sekarang membudaya dikalangan ummat muslim neh), maaf (bukan
SARA loh, karena penulis juga seorang Muslim) atau “gaji ke 13 – 14” taapi
gimana kalo semua itu tak ada ? hayo...
Gambaran diatas juga juga melanda dunia media (khususnya praktisi
pena) yang bertugas diseputaran Polres Langkat, Pemkab dan Mitra-mitranya.
Kemarin lalu saya ditelpon oleh seorang wartawan yang biasa meliput di mapolres
Langkat. ”Ga jelas kawan ini, pelese (pilih kasih) kali nampaknya dalam bagi-bagi parcel, aku
ga dapat, kau dapat ga piliang” Ujarnya diujung telpon sembari mengeluh.
Singkatnya kawan neh mengeluh karena
pembagian parcel yang dikomandaoi oleh "katanya” ketua unit liputan di polres
itu malah tidak merata ke seluruh awak media yang biasa mangkal disono no, mendongkolkah kawan ini ? so
pasti, berani melawankah ? tidak, karena takut, kalo melawan atau protes, kawan
ini takot tidak dipanggil lagi untuk meliput semua berita, baik paparan atau
berita apapun yang berbau hasil tangkapan mapolres Langkat.,kalo itu terjadi,
jelaslah income upah menulis berita yang Cuma “Cpek” raib ditelan hantu,hmm,,kaco.
*Muka Tebal*
Ada cerita unik soal THR dan wartawan,khususnya
di kabupaten Langkat, pertama musti kudu pandai bersilat, bukan silat cam
disenetron, tapi ber”Silat” lidah, kedua, pandai ambil muka (bahasa kami di
langkat “angkat telor”lah), ketiga adalah bermuka tembok (kalo ini wajib) kalo
mau dapat THR dari pejabat, baik pejabat di kepolisian ataupun pemkab Langkat, nah kalo
yang ketiga ini udah dikumpulin menjadi watak, hiduppun gampanglah, uang tak
pernah kering dikantong, lah ngangkat terus tanpa berani mengkritik.ho,,ho,,ho,,
Cuma parahnya kalo ada seorang wartawan yang
udah kek gini neh mentalnya, ancorr kita .. alamat kena jual tuh kepala,
khususnya kepala wartawan yang hobi mengkritik pejabat tu tu, istilah dilangkat
(membante). Kenapa ? karena wartawan yang memilik jiwa penjilat itu pasti akan
bicara sama pejabat itu, “udah kawan yang hobi membante bapak tuh, serahkan
sama aku, amannya itu, berapa koceknya” hahahah mati kita, rusak..rusak dunia
pers neh.
Namun,,sungguhpun begitu, sesama wartawan yang juga masih hobi dengan "Fulus" saya tidak berani
menyalahkan kawan yang udah “rosak” tuh, maklumlah UUP Nomor 40/1999 dah bolak
balik aku baca isi demi isi, tak ada pula yang menuliskan bahwa ada pasal dalam UUP itu yang mengatur tentang kesejahteraan wartawan, semuanya mayoritas berisi tentang
kode etik dan bla..bla, jadi tak salah juga sebagian wartawan didaerah itu
memanfaatkan “pers”nya untuk merangkap menjadi pemburu rupiah. Udahlah capek
kita kalo membahas UUP 40/1999, bantenyalah situ.
Kembali ke Laptop,mengutip seruan dewan pers
yang ditulis seorang wartawan senior asal jakarta dalam blognya bernama “Jojo,s
Journey” beberapa waktu lalu yang menuliskan untuk menghindari adanya
kemungkinan jurnalis menerima bingkisan dari pihak lain saat lebaran, beberapa
organisasi organisasi pers dan para pemangku kepentingan kebebasan pers
mengeluarkan seruan agar semua instansi pemerintah dan perusahaan swasta tidak
memberikan uang suap/sogokan kepada jurnalis yang meliput di lembaga Anda,
dengan kedok Tunjangan Hari Raya atau Bingkisan Lebaran.
“Adalah
kewajiban perusahaan pers atau media tempat para jurnalis bekerja,
untuk memberikan Tunjangan Hari Raya, sesuai dengan ketentuan pemerintah dan
peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi seruan bersama yang ditandatangani perwakilan pengurus AJI, ATVSI, Dewan Pers, IJTI, dan SPS.
untuk memberikan Tunjangan Hari Raya, sesuai dengan ketentuan pemerintah dan
peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi seruan bersama yang ditandatangani perwakilan pengurus AJI, ATVSI, Dewan Pers, IJTI, dan SPS.
Ditambahkan,
pemberian sogokan/uang suap berbentuk Tunjangan Hari Raya atau Bingkisan
Lebaran akan mempengaruhi daya kritis jurnalis dalam melayani kepentingan publik
memperoleh informasi yang akurat dan jujur. Selain itu, hubungan setara antara
jurnalis dan narasumber pun akan jadi tidak sehat oleh praktek-praktek
pemberian bingkisan macam itu.Nah loh, yang udah terima parcel dari Mapolres Langkat atau pemkab,
masih berani ga mengkritik ? hahahaha,, ancooorrr mina (seperti lirik sebuah
lagu dangdhut 90an)
*Pengusaha
Media*
Sementara
itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen Abdul Manan
menegaskan, jangan sampai masa-masa menjelang Lebaran dimanfaatkan untuk
menyogok jurnalis dengan memberikan THR. “Sebab, pasal 6 Kode Etik Jurnalistik
jelas menyatakan, Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap,” kata ketua Manan.
Federasi
juga menggarisbawahi bahwa THR adalah hak pekerja yang wajib dibayarkan oleh
pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan
yang berupa uang atau bentuk lain. Ini diatur dalam Pasal 1 Huruf d Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Bagi Pekerja di Perusahaan.
“Berdasarkan
Permenaker ini, pengusaha yang melanggar kewajibannya membayar hak THR bisa
dikategorika melakukan tindak pidana. Pasal peraturan menteri itu
mewajibkan pengusaha memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai
masa kerja tiga bulan secara terus menerus atau lebih. Pembayarannya juga harus
dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan
diperingati,” tambah Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia Winuranto
Adhi.
Baik
Federasi maupun AJI menyerukan kepada para pemilik media untuk memberikan
THR tidak hanya kepada jurnalis yang berstatus karyawan tetap, tapi juga
kepada jurnalis yang punya hubungan kontrak seperti kontributor,
koresponden, dan semacamnya. “Selain sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum positif
kita, ini juga sebagai bagian dari penghargaan terhadap pekerja media,” kata
Ketua AJI Jakarta Wahyu Dhyatmika. (ditulis oleh M.Piliang eks jurnalis Top Metro Media Network, sekarang mencoba menjadi penulis blog di Blogger.com google).